AKSELARASI PERBANKAN SYARI’AH MENUJU BANK YANG UNGGUL DI SUMATERA UTARA

Rabu, 26 Juni 2013



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan perekonomian. Hal ini sesuai dengan tujuan dari perbankan Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 Pasal 4, yaitu Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam  rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak (Kasmir, 2002).
           
            Selama kurun waktu 30 tahun terakhir pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di Indonesia maupun di kalangan dunia internasional. Pada awalnya di tahun 1970-an, konsep perbankan dan keuangan Islam atau yang lebih dikenal dengan sistem syariah hanyalah merupakan diskusi teoritis saja, namun kini hal tersebut telah menjadi realitas faktual yang mencengangkan banyak kalangan.
Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global yang sudah tidak asing lagi, bahkan termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim sekalipun. Berdasarkan prediksi McKinsey tahun 2008, total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006 mencapai 0,75 milyar dollar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai 1 milyar dollar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27% per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 % per tahun.[1]
Pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga mengalami kemajuan yang pesat. Krisis keuangan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Tak hanya masyarakat dunia, namun para pakar dan pengamat kebijakan ekonomi tak hanya sekedar melirik ke arah perbankan syariah namun lebih dari itu mereka tertarik untuk menerapkan konsep syariah secara serius. Selain itu prospek perbankan syariah diyakini sangat menjanjikan. Bank syariah di Indonesia diyakini akan terus tumbuh dan berkembang. Perkembangan industri perbankan syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Harapan tersebut memberikan suatu optimisme melihat penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Pesatnya perkembangan industri perbankan syariah ini dikarenakan perbankan syariah memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang utama adalah yang melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank syariah mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim.
Namun demikian, masa depan perbankan syariah akan sangat bergantung kepada kemampuannya untuk merespon perubahan dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi teknologi informasi menjadikan ruang lingkup perbankan syariah sebagai lembaga keuangan telah melampaui batas perundang-undangan suatu negara. Implikasinya adalah sektor keuangan menjadi semakin dinamis, kompetitif dan kompleks.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam makalah ini antara lain:
1.      Kapan masuknya perbankan syari’ah ke Indonesia?
2.      Bagaimana operasional perbankan syari’ah?
3.      Bagaimana perkembangan perbankan syari’ah?
4.      Bank apa yang unggul di Sumatera Utara?

C. Tujuan Penulisan
            Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini di dibuat dengan tujuan :
1.      Untuk mengetahui kapan masuknya perbankan syari’ah ke Indonesia
2.      Untuk mengetahui bagaimana operasional perbankan syari’ah
3.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan perbankan syari’ah
4.      Untuk mengetahui perbankan yang unggul di Sumatera Utara




BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perbankan Syari’ah
Konsep teoritis mengenai bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940- an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini, dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul; A Groundwork for Interest Free Bank.[2]
Pemikiran yang sudah muncul pada tahun 50-an tidak langsung memberikan jalan yang lapang bagi perbankan Islam. Tahun 1960-an, bank syariah hanya menjadi diskursus teortis. Belum ada langkah konkret yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam.[3]
Sejarah awal mula perbankan syariah pertama sekali dilakukan adalah di negara Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 19-an, dan kemudian di negara Mesir. Perbankan syariah di negara Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini adalah Ahmad El Najjar, mengambil sebuah bentuk bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Myt, Myt Ghamr Bank pada tahun 1963 didirikan di Mesir. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967 dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung daam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang di dapat dengan para penabung.[4]
Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development Bank (IDB), yang bediri atas prakasa dari sidang menteri luar negeri negara-negara OKI (organisasi Konfrensi Islam) di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir periode 1970- an dan awal periode 1980-an, bank-bank syariah muncul di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai Negara. Pada tahun 1977, berdiri 2 (dua) bak Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan, dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House yang beroperasi tanpa bunga.
Salah satu negara pelopor sistem perbankan syariah secara nasional adalah Pakistan. Pemerinah Pakistan mengkonversi seluruh sistem perbankan di negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan syariah. Sebelumnya pada tahun 1979, beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan telah menghapus sistem bunga dan mulai tahun itu pula pemerintah Pakistan mensosialisasikan pinjaman tanpa bunga, terutama pada petani dan nelayan.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama sekali diprakarsai oleh Mesir, pada sidang Menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konfrensi Islam di Karachi, Pakistan, pada desember 1970. Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian bank Islam internasional untuk perdagangan dan pembangunan (international Islamic bank for trade and development) dan proposal pendirian federasi bank Islam (federation of Islamic banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima dan sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam, bahkan sebagi tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan-pembentukan perwakilan khusus, yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam.


Diluar negeri banyak bank syariah yang umurnya sudah lama, misalnya sebagai berikut:
1.      Bahrain Islamic Bank (1978)
2.      Islamic Bank Bangladesh (!986)
3.      Kuwait Finance House (1987)
4.      Bank Islam Malaysia Berhad (1987)
5.      Qatar Islamic Bank (1407)
6.      Faysal Islamic Bank Sudan (1407)
7.      Islamic Bank for Western Sudan (1987)
8.      Sudanese Islamic Bank 1405)
9.      Beit Ettanwil Saudi (B.E.S.T) (1986)
10.  Al Baraka Turkis Evkaf Finance House (1989)
11.  Bank Al Taqwa (1989) 12. Nasser Social Ban2 (1971)
12.  Dubai Islamic Bank (1975) 14. Kuwait Finance House (1977)
13.  Faysal Islamic Bank, Mesir dan Sudan (1977)
14.  Jordan Islamic Bank (1977)
15.  The Islamic International Bank for Investment and Development Mesir (1980)
16.  The International Islamic Bank of Dacca Bangladesh (1982)
17.  Massraf Faysal Al Islami Bahrain (1982)
18.  The Sharia Investment Service, Genewa (1980)

Kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, tetapi juga bank milik non muslim. Saat ini bank Islam sudah tersebar diberbagai negara muslim dan non muslim, baik di benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan keuangan dunia, seperti ANZ , Chase, Chemical Bank, dan City Bank telah membuka cabang yang berdasarkan syariah.[5]
Sementara itu, ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu- Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai behembus sejak saat itu, seiring munculnya kesadaran batu kaum intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan intektual muslim.[6]
Pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam dimana tokoh yang terlibat diantaranya adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien Azis, sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala yang relatif terbatas, diantaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Rhido Gusti). Sebagai gambaran M. Dawam Rahardo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi bank syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebut dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudharabah, musyarakah, dan murabahah.[7]

B. Pengertian Perbankan Syariah
            Bank syariah, atau Bank Islam, merupakan salah satu bentuk dari perbankan nasional yang mendasarkan operasionalnya pada syariat (hukum) Islam. Menurut Schaik dalam bukunya yang berjudul Islamic Banking, bank Islam adalah sebuah bentuk dari bank modern yang didasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada abad pertama Islam, menggunakan konsep berbagi risiko sebagai metode utama, dan meniadakan keuangan berdasarkan kepastian serta keuntungan yang ditentukan sebelumnya. Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah.[8] Definisi Bank Syariah menurut Muhammad dan Donna dalam bukunya yang brjudul Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia adalah lembaga keuangan yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip syariat Islam.




C. Prinsip Operasi Perbankan Syariah
            Bank syariah dapat dilakukan melalui:
1.      Bank Umum Syariah
2.      Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
3.      Islamic Windows, dan
4.      Office Chanelling

Bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prnsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah perseroan terbatas atau PT, koperasi daerah dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu triliun rupiah. Kegiatan usaha bank umum syariah Pasal 19 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 meliputi:
a)      Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b)      Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c)      Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d)     Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e)      Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f)       Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g)      Melakukan pengambilalihan hutang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h)      Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i)        Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j)        Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k)      Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l)        Melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m)    Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n)      Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o)      Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p)      Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q)      Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. Produk Perbankan Syari’ah
            Secara garis besar, produk pembiayaan bank syariah digolongkan ke dalam empat kategori, sebagai berikut :

1.      Pembiayaan dengan Prinsip Jual-Beli.
Pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk memiliki barang, dilaksanakan sehubungan dengan addanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dapat dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan barang, antara lain :[9]
a)      Pembiayaan Murabahah
Menurut IAI (2002: 59.8), “Murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyertakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.” Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan ataupun tanpa pesanan. Di dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat berdasarkan akad.

b)      Pembiayaan Bai’ Bitsaman Ajil
Menurut Hertanto Widodo (1999: 49), “Ba’I Bitsaman Ajil adalah jual beli dengan pembayaran cicilan.” Sementara menurut Muhammad (2002: 102): Bai’ Bitsaman Ajil adalah suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah, dimana bank syariah menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang harus dibayar oleh peminjam adalah harga jual atas barang modal dan mark-up yang disepakati. Harga jual adalah harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati. Jika harga jual telah ditetapkan dan disepakati, maka harga tersebut tidak boleh diubah walaupun terjadi inflasi, deflasi, ataupun kenaikan tingkat suku bunga pasar.

c)      Pembiayaan Salam
Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Bank dapat bertindak sebagai penjual atau pembeli dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat dirubah selama jangka waktu akad. Dalam hal ini bank bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari resiko yang merugikan bank.

d)      Pembiayaan Istishna’
Menurut Sunarto Zulkifli (2003: 41), “Bai’ Istishna’ adalah salah satu pengembangan prinsip bai’ as-salam, dimana waktu penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan.” Pembeli menugaskan produsen untuk menyediakan barang pesanan sesuai spesifikasi yang diisyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembayaran dapat berupa pembayaran di muka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika bertindak sebagai penjual, yang memesan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna’ paralel. Umumnya pembiayaan ini diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi.

2.      Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Menurut IAI (2002: 59.17), ‘Ijarah adalah akad sewa-meyewa antara pemilik ma’jur (objek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya.” Ijarah muntahiyah bittamlik adalah sewa-meyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip ijarah sama sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objeknya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Berdasarkan objeknya, ijarah terdiri dari :
·         Ijarah dimana objek manfaatnya dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dan lain-lain.
·         Ijarah dimana objeknya adalah manfaat dari tenaga seseorang seperti jasa, taxi, jasa guru, dan lain-lain.
3.      Pembiayaan dengan Prinsip Bagi-hasil
Adapun produk dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil antara lain adalah :

a)      Pembiayaan Musyarakah
Menurut IAI (2002: 59.6), “Musyarakah adalah akad kerja sama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan.” Pembiayaan musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva non-kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi atau hak paten. Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu, baik yang sudah berjalan maupun yang masih baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan moal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank.
b)      Pembiayaan Mudharabah
Menurut IAI (2002: 59.2), “Pembiayaan mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.” Dalam mudharabah, modal 100% berasal dari shahibul maal (pemilik dana).

4.      Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya juga diperlukan akad pelengkap. Akad pelengkap ini ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Adapun produk-produk bank syariah dalam akad pelengkap di antaranya adalah :
a)      Hiwalah (Alih Hutang-piutang)
Menurut IAI (2002: 59. 38), “Hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan hak dan kewajiban, baik dalam bentuk pengalihan hutang atau piutang, dan jasa pemindahan/pengalihan dana dari suatu entitas kepada entitas lain.” Tujuan hiwalah adalah untuk mrmbantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.

b)      Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus merupakan barang milik nasabah sendiri; jenis, ukuran, sifat, dan nilainya dapat ditentukan berdasarkan nilai riil pasar; dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

c)      Qardh
Menurut IAI (2002: 59.23), “Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu.” Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.

d)      Wakalah
Wakalah adalah pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi kuasa.” Akad wakalah tersebut dapat digunakan, antara lain, dalam pengiriman transfer, penagihan hutang baik melalui kliring maupun inkaso, dan realisasi L/C.

e)      Kafalah
Menurut IAI (2002:59.40),” Kafalah adalah akad peminjaman yang diberikan oleh kaafil (penanggung/bank) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu ashil).” Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.

E. Perbankan Syari’ah di Sumatera Utara
Bank di Sumatera Utara ialah :
1.      Bank BNI
2.      Bank Syari’ah Mandiri
3.      Bank Bukopin
4.      Bank Danamon
5.      Bank BRI Syari’ah
6.      Bank Muamalat




 GRAFIK 4 BESAR BANK YANG UNGGUL DI SUMATERA UTARA
            Adapun Bank yang unggul di Sumatera Utara,hingga saat ini ialah Bank BNI(Bank Negara Indonesia).
            Adapun berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Medan berdasarkan ketentuan dan aturan yang berkaitan dengan perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/23/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah, perubahan kegiatan usaha dan pembukaan Kantor Cabang Syariah.
2.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 Tanggal 27 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
3.      Peraturan bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 tanggal 9 juni 2000 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tentang penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar kliring lokal.
4.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Juni 2000 tentang pasar uang atas bank berdasarkan prinsip syariah.
5.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Juni 2000 tentang sertifikat wadiah bank Indonesia.
6.      Buku petunjuk pendirian bank syariah

PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Syariah Medan merupakan cabang yang kesebelas yang didirikan pada tanggal 15 Agustus 2002 yang di resmikan oleh Agoest Soebakti, Direktur Ritel Bank Indonesia. PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Medan adalah satu dari usaha BNI yang hadir untuk melayani masyarakat dengan landasan sistem perbankan syariah dalam rangka mewujudkan BNI sebagai Bank Universal.




























BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
            Bank syariah, atau Bank Islam, merupakan salah satu bentuk dari perbankan nasional yang mendasarkan operasionalnya pada syariat (hukum) Islam.
            Bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prnsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah perseroan terbatas atau PT, koperasi daerah dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu triliun rupiah.
            Adapun produk perbankan syari’ah adalah:
1.      Pembiayaan dengan Prinsip Jual-Beli
2.      Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
3.      Pembiayaan dengan Prinsip Bagi-hasil, dan
4.      Akad Pelengkap
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Syariah Medan merupakan cabang yang kesebelas yang didirikan pada tanggal 15 Agustus 2002 yang di resmikan oleh Agoest Soebakti, Direktur Ritel Bank Indonesia. PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Medan adalah satu dari usaha BNI yang hadir untuk melayani masyarakat dengan landasan sistem perbankan syariah dalam rangka mewujudkan BNI sebagai Bank Universal.



[1] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keempat, 2004 ), hal 2  
[2] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999) hal. 4
[3] Adrian Sutedi, Perbankan Syariah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009) hal. 1
[4] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Ed. Keenam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002) hal. 177
[5] Ibid. Hal 178
[6] Adrian Sutedi, Op. Cit. hal. 6
[7] Ibid. hal. 8
[8] Sudarsono , Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogiakarta: Penerbit Ekonisia, 2004)
[9] Widjanarko, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1992), hal. 23

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.