BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Bank merupakan lembaga
keuangan yang mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan
perekonomian. Hal ini sesuai dengan tujuan dari perbankan Indonesia yang
tercantum dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 Pasal 4, yaitu
Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak (Kasmir, 2002).
Selama
kurun waktu 30 tahun terakhir pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah
mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di Indonesia maupun di kalangan
dunia internasional. Pada awalnya di tahun 1970-an, konsep perbankan dan
keuangan Islam atau yang lebih dikenal dengan sistem syariah hanyalah merupakan
diskusi teoritis saja, namun kini hal tersebut telah menjadi realitas faktual
yang mencengangkan banyak kalangan.
Pada era modern ini, perbankan syariah
telah menjadi fenomena global yang sudah tidak asing lagi, bahkan termasuk di
negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim sekalipun. Berdasarkan
prediksi McKinsey tahun 2008, total aset pasar perbankan syariah global pada
tahun 2006 mencapai 0,75 milyar dollar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total
aset mencapai 1 milyar dollar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar
di dunia mencapai 27% per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100
bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 % per tahun.[1]
Pertumbuhan
dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga mengalami kemajuan yang
pesat. Krisis keuangan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi
perkembangan perbankan syariah. Tak hanya masyarakat dunia, namun para pakar
dan pengamat kebijakan ekonomi tak hanya sekedar melirik ke arah perbankan
syariah namun lebih dari itu mereka tertarik untuk menerapkan konsep syariah
secara serius. Selain itu prospek perbankan syariah diyakini sangat
menjanjikan. Bank syariah di Indonesia diyakini akan terus tumbuh dan
berkembang. Perkembangan industri perbankan syariah ini diharapkan mampu
memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Harapan tersebut memberikan
suatu optimisme melihat penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Pesatnya perkembangan industri perbankan
syariah ini dikarenakan perbankan syariah memiliki keistimewaan-keistimewaan.
Salah satu keistimewaan yang utama adalah yang melekat pada konsep (build in
concept) dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah
yang menjadikan bank syariah mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem
bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh
masyarakat muslim.
Namun demikian, masa depan perbankan
syariah akan sangat bergantung kepada kemampuannya untuk merespon perubahan
dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi teknologi informasi
menjadikan ruang lingkup perbankan syariah sebagai lembaga keuangan telah
melampaui batas perundang-undangan suatu negara. Implikasinya adalah sektor
keuangan menjadi semakin dinamis, kompetitif dan kompleks.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian
dalam makalah ini antara lain:
1. Kapan
masuknya perbankan syari’ah ke Indonesia?
2. Bagaimana
operasional perbankan syari’ah?
3. Bagaimana
perkembangan perbankan syari’ah?
4. Bank apa yang unggul di Sumatera Utara?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar
belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah
ini di dibuat dengan tujuan :
1. Untuk
mengetahui kapan masuknya perbankan syari’ah ke Indonesia
2. Untuk
mengetahui bagaimana operasional perbankan syari’ah
3. Untuk
mengetahui bagaimana perkembangan perbankan syari’ah
4. Untuk mengetahui perbankan yang unggul di Sumatera
Utara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perbankan
Syari’ah
Konsep
teoritis mengenai bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940- an, dengan
gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini,
dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar
Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang
lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis
oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad
Hamidullah (1944-1962). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori
perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul; A Groundwork for Interest
Free Bank.[2]
Pemikiran yang sudah muncul pada tahun 50-an tidak langsung memberikan
jalan yang lapang bagi perbankan Islam. Tahun 1960-an, bank syariah hanya
menjadi diskursus teortis. Belum ada langkah konkret yang memungkinkan
implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa
bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan
sosial di negara-negara Islam.[3]
Sejarah
awal mula perbankan syariah pertama sekali dilakukan adalah di negara Pakistan
dan Malaysia sekitar tahun 19-an, dan kemudian di negara Mesir. Perbankan
syariah di negara Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam karena adanya
kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan
fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini adalah Ahmad El Najjar, mengambil
sebuah bentuk bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian
laba) di kota Myt, Myt Ghamr Bank pada tahun 1963 didirikan di Mesir.
Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967 dan saat itu sudah berdiri 9 bank
dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun
menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan
industri secara langsung daam bentuk partnership dan membagi keuntungan
yang di dapat dengan para penabung.[4]
Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development Bank
(IDB), yang bediri atas prakasa dari sidang menteri luar negeri negara-negara
OKI (organisasi Konfrensi Islam) di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah
(1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan
bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah
memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada
akhir periode 1970- an dan awal periode 1980-an, bank-bank syariah muncul di
Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan
Turki.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank,
yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai Negara.
Pada tahun 1977, berdiri 2 (dua) bak Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di
Mesir dan Sudan, dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait
Finance House yang beroperasi tanpa bunga.
Salah satu negara pelopor sistem perbankan syariah secara nasional
adalah Pakistan. Pemerinah Pakistan mengkonversi seluruh sistem perbankan di
negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan syariah. Sebelumnya pada
tahun 1979, beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan telah menghapus
sistem bunga dan mulai tahun itu pula pemerintah Pakistan mensosialisasikan
pinjaman tanpa bunga, terutama pada petani dan nelayan.
Secara
internasional, perkembangan perbankan Islam pertama sekali diprakarsai oleh
Mesir, pada sidang Menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konfrensi Islam
di Karachi, Pakistan, pada desember 1970. Mesir mengajukan proposal berupa
studi tentang pendirian bank Islam internasional untuk perdagangan dan
pembangunan (international Islamic bank for trade and development) dan
proposal pendirian federasi bank Islam (federation of Islamic banks).
Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan
berdasarkan bunga harus diganti dengan suatu sistem kerja sama dengan skema
bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal
tersebut diterima dan sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam
Internasional dan Federasi Bank Islam, bahkan sebagi tambahan diusulkan pula
pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan
Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta
pembentukan-pembentukan perwakilan khusus, yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association
of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan
perbankan Islam.
Diluar
negeri banyak bank syariah yang umurnya sudah lama, misalnya sebagai berikut:
1.
Bahrain
Islamic Bank (1978)
2.
Islamic
Bank Bangladesh (!986)
3.
Kuwait
Finance House (1987)
4.
Bank
Islam Malaysia Berhad (1987)
5.
Qatar
Islamic Bank (1407)
6.
Faysal
Islamic Bank Sudan (1407)
7.
Islamic
Bank for Western Sudan (1987)
8.
Sudanese
Islamic Bank 1405)
9.
Beit
Ettanwil Saudi (B.E.S.T) (1986)
10. Al Baraka Turkis Evkaf Finance House (1989)
11. Bank Al Taqwa (1989) 12. Nasser Social Ban2
(1971)
12. Dubai Islamic Bank (1975) 14. Kuwait Finance
House (1977)
13. Faysal Islamic Bank, Mesir dan Sudan (1977)
14. Jordan Islamic Bank (1977)
15. The Islamic International Bank for Investment
and Development Mesir (1980)
16. The International Islamic Bank of Dacca
Bangladesh (1982)
17. Massraf Faysal Al Islami Bahrain (1982)
18. The Sharia Investment Service, Genewa (1980)
Kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
muslim, tetapi juga bank milik non muslim. Saat ini bank Islam sudah tersebar
diberbagai negara muslim dan non muslim, baik di benua Amerika, Australia, dan
Eropa. Bahkan banyak perusahaan keuangan dunia, seperti ANZ , Chase, Chemical
Bank, dan City Bank telah membuka cabang yang berdasarkan syariah.[5]
Sementara itu, ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak
tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank syariah muncul pada seminar hubungan
Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan
oleh Lembaga Studi Ilmu- Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal
Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki
perbankan Islam sendiri mulai behembus sejak saat itu, seiring munculnya
kesadaran batu kaum intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan
ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai
hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan
intektual muslim.[6]
Pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam
sebagai pilar ekonomi Islam dimana tokoh yang terlibat diantaranya adalah
Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien
Azis, sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala yang
relatif terbatas, diantaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di
Jakarta (Koperasi Rhido Gusti). Sebagai gambaran M. Dawam Rahardo dalam
tulisannya pernah mengajukan rekomendasi bank syariat Islam sebagai konsep
alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus menjawab tantangan bagi
kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan
keluarnya secara sepintas disebut dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga
modus, yakni mudharabah, musyarakah, dan murabahah.[7]
B. Pengertian Perbankan Syariah
Bank
syariah, atau Bank Islam, merupakan salah satu bentuk dari perbankan nasional
yang mendasarkan operasionalnya pada syariat (hukum) Islam. Menurut Schaik
dalam bukunya yang berjudul Islamic Banking, bank Islam adalah sebuah bentuk
dari bank modern yang didasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada
abad pertama Islam, menggunakan konsep berbagi risiko sebagai metode utama, dan
meniadakan keuangan berdasarkan kepastian serta keuntungan yang ditentukan
sebelumnya. Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang
yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah.[8]
Definisi Bank Syariah menurut Muhammad dan Donna dalam bukunya yang brjudul
Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia
adalah lembaga keuangan yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga
yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam
lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan
prinsip syariat Islam.
C. Prinsip Operasi Perbankan Syariah
Bank
syariah dapat dilakukan melalui:
1. Bank Umum Syariah
2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
3. Islamic Windows, dan
4. Office Chanelling
Bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prnsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah perseroan terbatas
atau PT, koperasi daerah dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu triliun
rupiah. Kegiatan usaha bank umum syariah Pasal 19 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008
meliputi:
a)
Menghimpun dana dalam bentuk
Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
b)
Menghimpun dana dalam bentuk
Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c)
Menyalurkan pembiayaan bagi hasil
berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d)
Menyalurkan pembiayaan berdasarkan
Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e)
Menyalurkan pembiayaan berdasarkan
Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
f)
Menyalurkan pembiayaan penyewaan
barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah
dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g)
Melakukan pengambilalihan hutang
berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
h)
Melakukan usaha kartu debit
dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i)
Membeli, menjual, atau menjamin
atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah,
mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j)
Membeli surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k)
Menerima pembayaran dari tagihan
atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau
antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l)
Melakukan Penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m)
Menyediakan tempat untuk menyimpan
barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n)
Memindahkan uang, baik untuk
kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip
Syariah;
o)
Melakukan fungsi sebagai Wali
Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p)
Memberikan fasilitas letter of
credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q)
Melakukan kegiatan lain yang lazim
dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
D. Produk Perbankan Syari’ah
Secara garis besar, produk
pembiayaan bank syariah digolongkan ke dalam empat kategori, sebagai berikut :
1. Pembiayaan dengan Prinsip
Jual-Beli.
Pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk memiliki barang,
dilaksanakan sehubungan dengan addanya perpindahan kepemilikan barang atau
benda (transfer of property). Tingkat keuntungan ditentukan di depan dan
menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dapat
dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu
penyerahan barang, antara lain :[9]
a)
Pembiayaan Murabahah
Menurut IAI (2002: 59.8), “Murabahah adalah akad jual-beli barang
dengan menyertakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli.” Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan ataupun
tanpa pesanan. Di dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian
barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Harga yang disepakati dalam
murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank
mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah.
Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan
tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat berdasarkan akad.
b)
Pembiayaan Bai’ Bitsaman Ajil
Menurut Hertanto Widodo (1999: 49), “Ba’I Bitsaman Ajil adalah jual
beli dengan pembayaran cicilan.” Sementara menurut Muhammad (2002: 102): Bai’
Bitsaman Ajil adalah suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah
dengan nasabah, dimana bank syariah menyediakan dananya untuk sebuah investasi
dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses
pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang
harus dibayar oleh peminjam adalah harga jual atas barang modal dan mark-up
yang disepakati. Harga jual adalah harga pokok ditambah keuntungan yang
disepakati. Jika harga jual telah ditetapkan dan disepakati, maka harga
tersebut tidak boleh diubah walaupun terjadi inflasi, deflasi, ataupun kenaikan
tingkat suku bunga pasar.
c)
Pembiayaan Salam
Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan
penangguhan pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya
dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai
dengan syarat-syarat tertentu. Bank dapat bertindak sebagai penjual atau
pembeli dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual
kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara
salam maka hal ini disebut salam paralel. Spesifikasi dan harga barang pesanan
disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang
pesanan tidak dapat dirubah selama jangka waktu akad. Dalam hal ini bank
bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah
untuk menghindari resiko yang merugikan bank.
d)
Pembiayaan Istishna’
Menurut Sunarto Zulkifli (2003: 41), “Bai’ Istishna’ adalah salah satu
pengembangan prinsip bai’ as-salam, dimana waktu penyerahan barang dilakukan
dikemudian hari sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau
ditangguhkan.” Pembeli menugaskan produsen untuk menyediakan barang pesanan
sesuai spesifikasi yang diisyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang
disepakati. Cara pembayaran dapat berupa pembayaran di muka, cicilan, atau
ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Spesifikasi dan harga barang pesanan
disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang
pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Bank dapat bertindak
sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’. Jika bertindak
sebagai penjual, yang memesan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk
menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna’
paralel. Umumnya pembiayaan ini diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan
kontruksi.
2.
Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Menurut IAI (2002: 59.17), ‘Ijarah adalah akad sewa-meyewa antara
pemilik ma’jur (objek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan
atas objek sewa yang disewakannya.” Ijarah muntahiyah bittamlik adalah
sewa-meyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan
atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa
pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Transaksi ijarah dilandasi adanya
perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip ijarah sama sama dengan prinsip jual
beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli
objeknya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Berdasarkan objeknya, ijarah terdiri dari :
·
Ijarah
dimana objek manfaatnya dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dan
lain-lain.
·
Ijarah
dimana objeknya adalah manfaat dari tenaga seseorang seperti jasa, taxi, jasa
guru, dan lain-lain.
3.
Pembiayaan dengan Prinsip Bagi-hasil
Adapun produk dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil antara lain
adalah :
a)
Pembiayaan Musyarakah
Menurut IAI (2002: 59.6), “Musyarakah adalah akad kerja sama di antara
para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari
keuntungan.” Pembiayaan musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara
kas, atau aktiva non-kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi atau
hak paten. Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk
membiayai suatu usaha tertentu, baik yang sudah berjalan maupun yang masih
baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan moal tersebut berikut bagi hasil
yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank.
b)
Pembiayaan Mudharabah
Menurut IAI (2002: 59.2), “Pembiayaan mudharabah adalah akad kerja sama
usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan
nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.” Dalam mudharabah, modal 100%
berasal dari shahibul maal (pemilik dana).
4.
Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya juga diperlukan akad
pelengkap. Akad pelengkap ini ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan dan dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta penggantian
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Adapun produk-produk
bank syariah dalam akad pelengkap di antaranya adalah :
a)
Hiwalah (Alih Hutang-piutang)
Menurut IAI (2002: 59. 38), “Hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan
hak dan kewajiban, baik dalam bentuk pengalihan hutang atau piutang, dan jasa
pemindahan/pengalihan dana dari suatu entitas kepada entitas lain.” Tujuan
hiwalah adalah untuk mrmbantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya.
b)
Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kepada bank
dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus merupakan barang
milik nasabah sendiri; jenis, ukuran, sifat, dan nilainya dapat ditentukan
berdasarkan nilai riil pasar; dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan
oleh bank.
c)
Qardh
Menurut IAI (2002: 59.23), “Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu.” Pihak yang meminjamkan dapat
menerima imbalan namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam
perjanjian.
d)
Wakalah
Wakalah adalah pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/nasabah)
kepada wakil (penerima kuasa/bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas
nama pemberi kuasa.” Akad wakalah tersebut dapat digunakan, antara lain, dalam
pengiriman transfer, penagihan hutang baik melalui kliring maupun inkaso, dan
realisasi L/C.
e)
Kafalah
Menurut IAI (2002:59.40),” Kafalah adalah akad peminjaman yang
diberikan oleh kaafil (penanggung/bank) kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu ashil).” Garansi bank
dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran.
E. Perbankan Syari’ah di Sumatera Utara
Bank di Sumatera Utara
ialah :
1. Bank
BNI
2. Bank
Syari’ah Mandiri
3. Bank
Bukopin
4. Bank
Danamon
5. Bank
BRI Syari’ah
6. Bank
Muamalat
GRAFIK 4 BESAR BANK YANG UNGGUL DI SUMATERA
UTARA
Adapun
Bank yang unggul di Sumatera Utara,hingga saat ini ialah Bank BNI(Bank Negara
Indonesia).
Adapun berdirinya PT. Bank Negara Indonesia
(persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Medan berdasarkan ketentuan dan aturan
yang berkaitan dengan perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1.
Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/23/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang
bank umum berdasarkan prinsip syariah, perubahan kegiatan usaha dan pembukaan
Kantor Cabang Syariah.
2.
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 Tanggal 27 Februari 2000 tentang Giro Wajib
Minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
3.
Peraturan
bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 tanggal 9 juni 2000 tentang perubahan atas
peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tentang penyelenggaraan kliring lokal
dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar kliring lokal.
4.
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Juni 2000 tentang pasar uang atas
bank berdasarkan prinsip syariah.
5.
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Juni 2000 tentang sertifikat wadiah
bank Indonesia.
6.
Buku
petunjuk pendirian bank syariah
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Cabang Syariah Medan merupakan cabang yang kesebelas yang didirikan pada
tanggal 15 Agustus 2002 yang di resmikan oleh Agoest Soebakti, Direktur Ritel
Bank Indonesia. PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Medan adalah satu dari usaha BNI yang hadir untuk melayani masyarakat dengan
landasan sistem perbankan syariah dalam rangka mewujudkan BNI sebagai Bank
Universal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bank syariah, atau Bank Islam, merupakan salah satu bentuk dari
perbankan nasional yang mendasarkan operasionalnya pada syariat (hukum) Islam.
Bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prnsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah perseroan terbatas
atau PT, koperasi daerah dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu triliun
rupiah.
Adapun
produk perbankan syari’ah adalah:
1.
Pembiayaan dengan Prinsip
Jual-Beli
2. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
3. Pembiayaan dengan Prinsip Bagi-hasil, dan
4. Akad Pelengkap
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Cabang Syariah Medan merupakan cabang yang kesebelas yang didirikan pada
tanggal 15 Agustus 2002 yang di resmikan oleh Agoest Soebakti, Direktur Ritel
Bank Indonesia. PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Medan adalah satu dari usaha BNI yang hadir untuk melayani masyarakat dengan
landasan sistem perbankan syariah dalam rangka mewujudkan BNI sebagai Bank
Universal.
[1] Warkum Sumitro, Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, cetakan keempat, 2004 ), hal 2
[2]
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1999) hal. 4
[3]
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009) hal.
1
[4]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Ed. Keenam, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2002) hal. 177
[5] Ibid. Hal 178
[6] Adrian Sutedi, Op. Cit. hal. 6
[7] Ibid. hal. 8
[8] Sudarsono , Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, (Yogiakarta: Penerbit Ekonisia, 2004)
[9] Widjanarko, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta:
Grafiti, 1992), hal. 23
0 komentar:
Posting Komentar